Perbedaan
sistem pemerintahan antara SBY dan JOKOWI dalam memberantas korupsi.
1. Sistem penerintahan
SBY:
Pemberantasan korupsi
yang dilakukan pemerintahan Presiden SBY dinilai masih buruk. berdasarkan aspek
aspirasi publik hanya diberi dinilai 5,5 hal ini jauh dari harapan publik.
"Semangat pemberantasan korupsi hanya bagus pada tahun 2005, pada tahun 2006 terjadi stagnasi dan pada tahun 2007 hingga tahun 2009 terjadi penurunan yang sangat drastis. Bahkan di tahun-tahun itu menjadi tahun yang menakutkan tentang semangat pemberantasan korupsi," kata Direktur Pukat UGM Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, di Yogyakarta, Senin 7 September 2009.
Penelitian ini dilakukan PUKAT UGM selama periode Juni-Juli 2009 selama SBY memerintah yaitu tahun 2004-2009.
Penilaian buruk ini disebabkan adanya ketidakkonsistenan kebijakan SBY dalam pemberantasan korupsi. Pemerintahan SBY di satu sisi mempercepat pemberantasan korupsi namun ada juga kebijaksanaan yang bertentangan dengan kebijakan pemberantasan korupsi.
"Meski ada kebijakan presiden yang berdampak kepada semagat pemberantasan korupsi yaitu keluarnya intsruksi presiden No 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Perintah presiden terhadap instansi yang ada di bawahnya untuk
mempercepat pemberantasan korupsi itu tidak berjalan efektif," jelasnya.
Kebijakan pemerintah khususnya Keputusan Presiden (Keppres) No 11 Tahun 2005, yaitu untuk mensinergikan upaya pemberantasan korupsi, presiden membentuk tim khusus yang dinamai Timtas Tipikor dinilai tidak strategis dan prestasi yang ditunjukkan Timtas Tipikor juga tidak mampu optimal. "Timtas Tipikor selama ini tidak menunjukkan hasil kerja yang optimal," ujarnya.
Sementara iu Danang Kurnadi Peneliti Pukat UGM Yogyakarta mengatakan kinerja pemerintah dalam membuat undang-undang antikorupsi tidak bagus, terutama pada dua produk legislasi yaitu soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor dan Undang-Undang No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
"Untuk RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah sangat lamban dalam menyusun RUU itu. Padahal, ‘deadline’ yang diberikan Mahkamah Konstitusi 19 Desember 2009. Untuk Undang-Undang Mahkamah Agung, komitmen pemerintah juga patut dipertanyakan," jelasnya.
"Semangat pemberantasan korupsi hanya bagus pada tahun 2005, pada tahun 2006 terjadi stagnasi dan pada tahun 2007 hingga tahun 2009 terjadi penurunan yang sangat drastis. Bahkan di tahun-tahun itu menjadi tahun yang menakutkan tentang semangat pemberantasan korupsi," kata Direktur Pukat UGM Yogyakarta, Zainal Arifin Mochtar, di Yogyakarta, Senin 7 September 2009.
Penelitian ini dilakukan PUKAT UGM selama periode Juni-Juli 2009 selama SBY memerintah yaitu tahun 2004-2009.
Penilaian buruk ini disebabkan adanya ketidakkonsistenan kebijakan SBY dalam pemberantasan korupsi. Pemerintahan SBY di satu sisi mempercepat pemberantasan korupsi namun ada juga kebijaksanaan yang bertentangan dengan kebijakan pemberantasan korupsi.
"Meski ada kebijakan presiden yang berdampak kepada semagat pemberantasan korupsi yaitu keluarnya intsruksi presiden No 5 tahun 2004 tentang percepatan pemberantasan korupsi. Perintah presiden terhadap instansi yang ada di bawahnya untuk
mempercepat pemberantasan korupsi itu tidak berjalan efektif," jelasnya.
Kebijakan pemerintah khususnya Keputusan Presiden (Keppres) No 11 Tahun 2005, yaitu untuk mensinergikan upaya pemberantasan korupsi, presiden membentuk tim khusus yang dinamai Timtas Tipikor dinilai tidak strategis dan prestasi yang ditunjukkan Timtas Tipikor juga tidak mampu optimal. "Timtas Tipikor selama ini tidak menunjukkan hasil kerja yang optimal," ujarnya.
Sementara iu Danang Kurnadi Peneliti Pukat UGM Yogyakarta mengatakan kinerja pemerintah dalam membuat undang-undang antikorupsi tidak bagus, terutama pada dua produk legislasi yaitu soal Rancangan Undang-Undang (RUU) Pengadilan Tipikor dan Undang-Undang No 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.
"Untuk RUU Pengadilan Tipikor, pemerintah sangat lamban dalam menyusun RUU itu. Padahal, ‘deadline’ yang diberikan Mahkamah Konstitusi 19 Desember 2009. Untuk Undang-Undang Mahkamah Agung, komitmen pemerintah juga patut dipertanyakan," jelasnya.
2. Sistem
pemerintahan JOKOWI:
Penyakit negara kita yang
kini dalam keadaan silang sengkarut adalah karena korupsi kronis. Korupsi
kronis lebih efektif diselesaikan dengan penyehatan sistem pemerintahan dan
birokrasi. Jokowi-Ahok sudah memberikan contoh ethos kerja ini.
Mereka berdua melakukan tindakan keterbukaan dengan apa yang dilakukan dan apa
yang diterima. Sikap transparansi merupakan musuh besar koruptor. Jika
pemerintahan dan birokrasi dilakukan secara transparan amat sulit uang rakyat
dikorupsi. Akuntabilitas tidak bisa disembunyikan.
Peranan
KPK sebagai lembaga watchdog terjadinya korupsi, masih perlu dipertanyakan
indenpendensinya dari campur tangan kekuatan politik. Secara legal
formal, KPK dilindungi secara hukum dari intervensi politik. Namun dalam
praktek tidak semudah itu dalam menghindarkan diri dari kekuasaan politik yang
kini hampir secara sistematis telah melakukan korupsi. KPK akan mendapat
perlawanan keras dari penguasa politik dalam mengungkap kasus korupsi. KPK
sendiri kurang transparan dalam mengungkap kasus-kasus korupsi.
Penelusuran bukti-bukti korupsi sering mandek dan macet di tengah jalan tanpa
adanya transparansi informasi. Banyak kalangan mulai meragukan ethos
kerja KPK. Mereka meragukan sikap independen KPK. Bahkan mulai curiga
bahwa KPK telah dipermainkan secara politik untuk melindungi para koruptor
kelas kakap yang sangat sulit tersentuh hukum.
Berpengharapan
terlalu besar pada KPK bisa membuat kita tertipu. KPK tidak akan efektif dan
punya daya terjang kuat tanpa didukung oleh rakyat. Tapi sementara ini suara
rakyat tidak bisa terartikulasi karena wakil rakyat pun banyak yang
gendut-gendut karena korupsi. Wakil rakyat malah semakin arogan dan keras
kepala.
Reformasi
birokrasi Jokowi-Ahok membuka pintu kemandegan artikulasi kepentingan
rakyat. Dengan sistem kepemimpian mereka yang dekat dengan rakyat,
terbuka, humanis, artikulasi kepentingan dari rakyat bisa menohok lebih keras
dan berfungsi sebagai kontrol sosial yang efektif untuk mencegah terjadinya
korupsi. KPK dengan sendirinya akan mendapat dukungan kuat dari rakyat dalam
memerangi korupsi, sejauh mereka transparan dalam sepak terjangnya. Penghargaan
partisipasi rakyat lewat birokrasi yang transparan selanjutnya akan
membangkitkan rasa nasionalisme dan cinta tanah air. Karena nasionalisme dalam
era globalisasi saat ini, akan timbul jika pemerintah menghargai dan memberi
kesempatan pada rakyat untuk terlibat dalam kehidupan kenegaraan.
Reformasi
birokrasi Jokowi-Ahok sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur sudah dirasakan oleh
rakyat banyak sekitar Jakarta. Jika mereka jadi Presiden dan Wakil
Presiden, apa yang dirasakan oleh penduduk Jakarta bisa dirasakan pula oleh
rakyat seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Jika
Jokowi ingin jadi presiden harus dilakukan secepatnya. Perubahan tidak
bisa menunggu lebih lama sebelum keadaan makin buruk dan korupsi makin susah
dibuktikan dan akhirnya dilupakan sebagaimana kasus-kasus jaman Orde Baru yang
lama. Saat inilah momentumnya. Sebelum Jokowi digeser oleh maneuver
politik kalangan pemegang status quo yang kepenakan mengenyam korupsi.
Biarkan Jokowi blusukan dari Sabang sampai Merauke, hingga sampai tidak bisa
lagi dikejar para kuli tinta yang beterbangan kayak nyamuk aedes aegypti - yang
suka sampai njengking kalau nggigit itu.
Gubernur DKI Jakarta
Joko Widodo (Jokowi) punya cara tersendiri dalam memberantas korupsi di
lingkungan pemerintahannya. Caranya dengan memperbaiki sistem pemerintahan dan
sumber daya manusianya.
"Perbaiki sistemnya lalu juga SDM-nya," ujar Jokowi saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Internasional di silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (9/12/2012).
Bagi Jokowi pembenahan sistem pemerintah dimulai dengan menerapkan transparansi pada program dan anggaran kepada masyarakat. "Nanti pajak kan online, parkir, reklame semua online," kata Jokowi.
Jika nantinya ada bawahannya yang terseret dalam kasus korupsi, maka Jokowi mengaku tidak akan mencampuri hak itu dan menyerahkannya dalam proses hukum.
"Urusan saya menangani sistem sehingga masyarakat terlayani," terangnya.
Jokowi berharap DKI Jakarta menjadi tempat belajar bagi semua pemerintah daerah di Indonesia dalam sistem pelayanan kepada masyarakat.
"Nanti tempat belajar sistem yang baik dalam melayani masyarakat," ucapnya.
"Perbaiki sistemnya lalu juga SDM-nya," ujar Jokowi saat menghadiri peringatan Hari Antikorupsi Internasional di silang Monas, Jakarta Pusat, Minggu (9/12/2012).
Bagi Jokowi pembenahan sistem pemerintah dimulai dengan menerapkan transparansi pada program dan anggaran kepada masyarakat. "Nanti pajak kan online, parkir, reklame semua online," kata Jokowi.
Jika nantinya ada bawahannya yang terseret dalam kasus korupsi, maka Jokowi mengaku tidak akan mencampuri hak itu dan menyerahkannya dalam proses hukum.
"Urusan saya menangani sistem sehingga masyarakat terlayani," terangnya.
Jokowi berharap DKI Jakarta menjadi tempat belajar bagi semua pemerintah daerah di Indonesia dalam sistem pelayanan kepada masyarakat.
"Nanti tempat belajar sistem yang baik dalam melayani masyarakat," ucapnya.
SUMBER:
DEBUT GATTUSO, AC MILAN MAINKAN SKEMA 3-4-3
BalasHapus